
Sekelumit kisah Drs. Rudolf Matzuoka Pardede Menjelang Pilgubsu 2008
Catatan : Roy Fachraby Ginting, SH, M.Kn
Kejarlah hal-hal yang besar, hal-hal yang dianggap mustahil oleh orang-orang lain. Orang-orang mungkin akan menertawakan bahkan melecehkan Anda, tetapi ingatlah Anda berbeda dengan mereka. Apapun yang terjadi, peganglah kebenaran ini, Tidak ada perkara yang mustahil bagi orang yang percaya. Mungkin kata kata ini banyak mempengaruhi jalan hidup seorang Rudolf M Pardede, Gubernur Sumatera Utara.
Rudolf M.Pardede ketika meluncurkan buku biografinya berjudul 'Berkarya Di Tengah Gelombang' di Convention Hall Hotel Danau Toba Internasional (HDTI), Senin 3 Desember 2007 yang lalu, dalam sambutannya mengatakan, "Ibarat mobil Mercy, saya baru berjalan 10 kilometer. Saya masih 'cas'," kata Rudolf.
Di hadapan para undangan Rudolf mengibaratkan dirinya mobil Mercy yang meski tahunnya sudah tinggi, tapi baru dibawa berjalan 10 kilometer karena sebagai birokrat dirinya baru berkecimpung selama dua tahun. Selama menjadi pemimpin di Sumut, khususnya di masa transisi pasca wafatnya almarhum Gubsu HT.Rizal Nurdin, Rudolf merasakan gelombang yang besar melandanya. Tapi bagi Rudolf, semakin banyak gelombang itu justru semakin positif. "Semakin banyak gelombang, saya semakin mendekatkan diri kepada tuhan," katanya. Pada kesempatan itu Rudolf juga mengatakan dirinya selalu mengingat apa yang dipesankan oleh Dr TD.Pardede yang tak lain adalah ayahandanya. "Beliau berpesan 3 hal kepada saya agar dalam menjalani hidup dengan bijaksana dan jangan arogan, membantu sesama tanpa mengharap imbalan, dan mengayomi," Menyangkut keberadaan diri dan perjalanan hidupnya, Rudolf mengatakan terkadang orang bertanya heran kepada dirinya. "Kadang-kadang saya juga heran tentang diri saya, apalagi orang lain. Apalah diri saya ini," ujarnya setengah bercanda
Namun manusia boleh berencana, tetapi Tuhan juga yang menetapkan segala sesuatu itu jadi atau tidak kepada umatnya. Walaupun Rudolf M Pardede masih cas, masih segar dan telah banyak berkarya, dengan jabatan Gubernur Sumatera Utara sekaligus Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara, tidak dapat menjadi ticket Rudolf M Pardede untuk melaju kembali di pertarungan Pilkada Sumatera Utara 2008.
Namun, sebagai sebuah renungan ada baiknya kita melihat sekelumit perjalan hidup seorang Rudolf M Pardede, dirinya tidak pernah menyangka dan membayangkan bakal menjadi Wakil Gubernur hingga menjadi Gubernur Sumatera Utara. Perjalanan karier tersebut penuh liku liku, dari ijazah palsu, kecelakaan pesawat Mandala dengan tewasnya Gubsu T Rizal Nurdin dan banyaknya pihak menentang Rudolf di lantik menjadi Gubsu, sehingga pelantikan harus di lakukan di Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri RI.
Di hambat tapi merambat, demikian sebuah filosopi yang saya baca dalam sebuah kesaksian Pendeta Jusuf Rony, dan hal itu dapat juga saya lihat dan rasakan dalam perjalanan hidup seorang Rudolf M Pardede. Semuanya akan indah pada waktunya, Rudolf M Padede, di lahirkan pada tanggal 4 April 1942 di Balige, putra Pengusaha Nasional DR TD Pardede, yang selalu tampil dengan kesederhanaannya. Tahun 2003, ia mendapat kepercayaan untuk menjabat Wakil Gubernur dan kemudian tahun 2006 menjadi Gubernur Sumut. Ia juga merupakan Ketua DPD PDI-P Sumut, walaupun pada saat ini sedang di non aktifkan DPP PDI Perjuangan. Banyak “tantangan” yang dihadapinya. Namun dengan senyum manis dan penuh ketenangan ia jalani semuanya. Prinsipnya, tidak pernah takut dengan siapa dan apapun karena garis tangannya sudah ditentukan Tuhan.Meski hanya sebagai wakil gubernur, bukan berarti jabatan tersebut dianggapnya sebagai pelengkap. Ia menjalani tugas itu dengan ikhlas dan serius. “Saya tidak akan pernah meninggalkan tugas sekecil apapun bila itu sudah diamanahkan. Kalau belum selesai saya tidak akan beranjak,” kata suami Natarida boru Tambunan dan ayah empat putra-putri ini. Rudolf juga mengaku, untuk menunjang keberhasilan tugasnya, di mana pun ditempatkan ia akan berusaha mencari teman sebagai partner kerja atau teman berdiskusi.Anak tokoh politik almarhum DR TD Pardede, yang pernah masuk dalam Kabinet 100 Menteri Pemerintahan Soekarno ini, dikenal sangat nasionalis. Ia tidak pernah memandang status atau tampilan lahiriah seseorang. Apalagi sampai membeda-bedakan agama, suku atau lainnya. Malah, ia selalu menilai seseorang itu dari kemampuan dan kemudian etika dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, kalau kedua hal itu sudah ada pada diri seseorang, ditambah lagi loyalitas tinggi, ia akan memberikan perhatian dan kesempatan untuk berkarier. “Itu merupakan modal utama,” kata Rudolf yang mengaku sangat membenci pengkhianat dan orang yang tidak bertanggung-jawab pada pekerjaannya. Bahkan, dalam menyikapi persoalan sepelik apapun termasuk dalam mengambil keputusan, ia tidak akan pernah terburu-buru atau panik. “Saya akan selalu mencari solusi terbaik,”
Sikap ini ia pelajari dari ibunya. Menurutnya, ibunya yang paling dominan membentuk wataknya. Namun di beberapa kasus dalam hal keseharian, seperti bersosialisasi dengan masyarakat, bapaknya yang banyak berperan, terutama dalam hal melihat perbedaan. Diakuinya, perbedaan agama dan suku tidak pernah menghalanginya untuk bersilaturrahmi dengan siapa pun. Malah ia bersyukur bisa berbuat kepada masyarakat bukan karena agama atau sukunya. “Sebab di mata Tuhan, siapa paling banyak menebarkan kasih, ia akan mendapatkan surga,” ungkapnya. Dikatakan Rudolf M Pardede, ketika dirinya terpilih menjadi wakil Gubernur, dirinya bukan manusia yang ambisius tapi berambisi. Apa yang saya dapat sekarang ini, bukanlah karena kemauan, perbuatan atau pekerjaan saya. Jabatan ini saya dapat dengan cuma-cuma. Saya sendiri merasa heran dan tidak mengerti bagaimana saya bisa menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur. Saya menyadari bahwa banyak orang yang sudah mengenal siapa dan bagaimana kemampuan saya sebenarnya. Namun, saya mensyukuri apa yang telah saya capai saat ini. Walau sehari menjadi Gubernur, yang penting sudah masuk dalam sejarah pernah menjadi Gubernur.
” Jadi saya tidak ambisius. Tuhan juga mengatakan, kalau ada kesempatan maka kita harus memanfaatkan kesempatan itu. Tapi, jangan mengambilnya dengan rasa ambisius tapi dengan ambisi. Kemudian, saya melihat adanya kesempatan karena pada waktu itu PDI-P menjadi pemenang di daerah ini, jadi saya berkeinginan untuk dapat berbuat sesuatu untuk masyarakat Sumut. Terutama agar ada perimbangan antara masyarakat Sumut, antar umat beragama dan yang lainnya ”Dalam mencapai puncak jabatan Gubernur Sumatera Utara, terbukti Rudolf, bisa menjalankan roda pemerintahan dan dapat menunjukkan adanya kerukunan umat beragama yang demikian kondusif, terkendali dan adanya rasa toleransi yang tinggi di antara umat beragama maupun suku yang ada di daerah di Sumatera Utara. Dikatakannya, Kalau kita merasa benar, maka kita tak perlu merasa ragu-ragu dan tidak usah takut dalam menghadapi masalah apapun. Ketika saya menjadi Wakil Gubernur, saya tetap menjalin hubungan baik dengan Gubernur T Rizal Nurdin. Saya berprinsip right or wrong you are my governor. Karena sejak dari awal saya sudah memilih beliau sebagai Gubernur. Walau pun tugas saya hanya menggunting pita, saya terima dengan senang hati karena itulah tugas Wakil Gubernur. Kalau pun ketika itu tidak ada orang yang mau mendekat dengan saya, saya bisa menerimanya, karena itu hal yang logis. Jadi, kita harus mengerti dan memahami posisi kita masing-masing. Kalau kita bisa memahami posisi dan fungsi masing-masing, hal itu akan mendorong terciptanya pemerintahan yang baik.Mengenai pandangannya terhadap orang tuanya, Rudolf Pardede berkisah, Saya sangat bangga sekali dengan orangtua saya, karena beliau adalah seorang entrepreneur. Beliau telah banyak berbuat untuk Sumatera Utara, walau mungkin dia bisa melakukannya di tempat lain. Beliau membangun hotel bertaraf internasional dan orang sempat menertawakannya kenapa harus membangun hotel demikian besar. Dia juga yang mendirikan persepakbolaan profesional pertama di Indonesia, pabrik tekstil pertama, rumah sakit dan juga universitas. Keinginan beliau adalah bagaimana meningkatkan SDM Sumatera Utara agar bisa maju ke depan dibanding daerah lainnya. Beliau sangat concern dalam membangun Sumatera Utara. ” Sejak dulu saya memang terobsesi mewujudkan impian beliau melalui kemampuan yang ada pada diri saya. Saya telah wujudkan keinginannya untuk menjadi Gubernur. Lalu saya menerbitkan sebuah suratkabar yakni Harian Perjuangan, serta membangun usaha tambak udang. Sehingga untuk mengenang mereka, saya telah melakukan untuk membangun apa yang saya sebut “tugu yang hidup” dan bukan menginginkan “tugu yang mati” untuk kedua orangtua saya. Artinya, “tugu yang hidup” itu, saya bangun Yayasan TD Pardede, yang mengelola sebuah universitas. Di Jakarta juga saya bangun gedung pertemuan Hermina Hall untuk mengenang ibu saya ”Dalam kehidupannya, Rudolf juga banyak di pengaruhi wejangan dan nasehat orang tuanya, diantaranya adalah, kalau pergi ke mana saja, selalulah meninggalkan yang baik-baik dan wangi. Kalau kita tinggalkan yang wangi-wangi, banyak orang akan menyenangi kita. Jangan pernah meninggalkan yang tidak baik dan tidak wangi. Wejangan inilah yang selalu di ingatnya dan dirinyapun mendapatkan hikmah di mana temannya demikian banyak yang mengasihi dan menolongnya. Jangan pernah mengukur pertemanan dengan uang. Dia tidak pernah merasa ragu untuk membuat orang merasa senang. Dirinya tidak pernah merasa ragu untuk membuat orang lain agar bisa tertawa. Orangtuanya Dr TD Pardede, tidak pernah mendekatkan diri dengan pejabat yang dia lihat sudah senang hidupnya. Orangtuanya justru lebih mendekatkan diri dengan pejabat-pejabat yang kelihatan susah hidupnya. Itu falsafah orangtuanya yang dia lihat. Orangtuanya sangat menghargai pejabat-pejabat yang sudah tidak menduduki posisi tertinggi lagi. Di katakan Rudolf, ketika seseorang itu diberikan kepercayaan untuk menduduki sebuah jabatan, jangan berpikiran bahwa orang itu tidak mampu untuk melaksanakannya. Contohnya seperti dirinya menduduki jabatan Wakil Gubernur dan kemudian menjadi Gubernur, banyak orang yang berpikir bahwa dia tidak memiliki kemampuan untuk jabatan itu.”Saya merasa bahwa setiap orang yang menduduki jabatan apapun, awalnya tidak pernah menduduki jabatan itu. Jadi, ketika saya menduduki jabatan ini, saya berdoa kepada Tuhan agar diberikan kemampuan untuk dapat menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana. Saya juga selalu meminta agar tidak dipermalukan. Saya yakin doa-doa inilah yang memberikan kekuatan bagi saya dalam menjalankan roda pemerintahan ”Menurut Rudolf, dalam ketidakmampuannya, Tuhan membuka jalan baginya untuk menyelesaikan setiap masalah. Dia yakin bahwa semua ini adalah kerja Tuhan, bukan kerjanya. Sebagai manusia biasa, dirinya tidak bisa berbuat apapun tanpa mengandalkan Tuhan. Dirinya tidak pernah merasa takut menghadapi apapun, karena Tuhan sudah menentukan garis tangannya.
Mungkin garis tangan juga yang menyebabkan Rudolf M Pardede, tidak dapat lagi mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Sumatera Utara dalam Pilkada 2008 yang akan datang. Mungkin Tuhan sudah punya rencana lain buat seorang Rudolf M Pardede, membesarkan usaha TD Pardede Group atau menikmati masa pensiun dengan berkumpul dengan anak, menantu dan cucu, karena Rudolf M Pardede juga sudah menjadi seorang oppung.
Catatan Tentang Penulis ;
Penulis adalah Pengamat masalah hukum dan politik, Saat ini adalah konsultan dan praktisi hukum/Notaris & PPAT tinggal di Medan
Rudolf M.Pardede ketika meluncurkan buku biografinya berjudul 'Berkarya Di Tengah Gelombang' di Convention Hall Hotel Danau Toba Internasional (HDTI), Senin 3 Desember 2007 yang lalu, dalam sambutannya mengatakan, "Ibarat mobil Mercy, saya baru berjalan 10 kilometer. Saya masih 'cas'," kata Rudolf.
Di hadapan para undangan Rudolf mengibaratkan dirinya mobil Mercy yang meski tahunnya sudah tinggi, tapi baru dibawa berjalan 10 kilometer karena sebagai birokrat dirinya baru berkecimpung selama dua tahun. Selama menjadi pemimpin di Sumut, khususnya di masa transisi pasca wafatnya almarhum Gubsu HT.Rizal Nurdin, Rudolf merasakan gelombang yang besar melandanya. Tapi bagi Rudolf, semakin banyak gelombang itu justru semakin positif. "Semakin banyak gelombang, saya semakin mendekatkan diri kepada tuhan," katanya. Pada kesempatan itu Rudolf juga mengatakan dirinya selalu mengingat apa yang dipesankan oleh Dr TD.Pardede yang tak lain adalah ayahandanya. "Beliau berpesan 3 hal kepada saya agar dalam menjalani hidup dengan bijaksana dan jangan arogan, membantu sesama tanpa mengharap imbalan, dan mengayomi," Menyangkut keberadaan diri dan perjalanan hidupnya, Rudolf mengatakan terkadang orang bertanya heran kepada dirinya. "Kadang-kadang saya juga heran tentang diri saya, apalagi orang lain. Apalah diri saya ini," ujarnya setengah bercanda
Namun manusia boleh berencana, tetapi Tuhan juga yang menetapkan segala sesuatu itu jadi atau tidak kepada umatnya. Walaupun Rudolf M Pardede masih cas, masih segar dan telah banyak berkarya, dengan jabatan Gubernur Sumatera Utara sekaligus Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara, tidak dapat menjadi ticket Rudolf M Pardede untuk melaju kembali di pertarungan Pilkada Sumatera Utara 2008.
Namun, sebagai sebuah renungan ada baiknya kita melihat sekelumit perjalan hidup seorang Rudolf M Pardede, dirinya tidak pernah menyangka dan membayangkan bakal menjadi Wakil Gubernur hingga menjadi Gubernur Sumatera Utara. Perjalanan karier tersebut penuh liku liku, dari ijazah palsu, kecelakaan pesawat Mandala dengan tewasnya Gubsu T Rizal Nurdin dan banyaknya pihak menentang Rudolf di lantik menjadi Gubsu, sehingga pelantikan harus di lakukan di Jakarta oleh Menteri Dalam Negeri RI.
Di hambat tapi merambat, demikian sebuah filosopi yang saya baca dalam sebuah kesaksian Pendeta Jusuf Rony, dan hal itu dapat juga saya lihat dan rasakan dalam perjalanan hidup seorang Rudolf M Pardede. Semuanya akan indah pada waktunya, Rudolf M Padede, di lahirkan pada tanggal 4 April 1942 di Balige, putra Pengusaha Nasional DR TD Pardede, yang selalu tampil dengan kesederhanaannya. Tahun 2003, ia mendapat kepercayaan untuk menjabat Wakil Gubernur dan kemudian tahun 2006 menjadi Gubernur Sumut. Ia juga merupakan Ketua DPD PDI-P Sumut, walaupun pada saat ini sedang di non aktifkan DPP PDI Perjuangan. Banyak “tantangan” yang dihadapinya. Namun dengan senyum manis dan penuh ketenangan ia jalani semuanya. Prinsipnya, tidak pernah takut dengan siapa dan apapun karena garis tangannya sudah ditentukan Tuhan.Meski hanya sebagai wakil gubernur, bukan berarti jabatan tersebut dianggapnya sebagai pelengkap. Ia menjalani tugas itu dengan ikhlas dan serius. “Saya tidak akan pernah meninggalkan tugas sekecil apapun bila itu sudah diamanahkan. Kalau belum selesai saya tidak akan beranjak,” kata suami Natarida boru Tambunan dan ayah empat putra-putri ini. Rudolf juga mengaku, untuk menunjang keberhasilan tugasnya, di mana pun ditempatkan ia akan berusaha mencari teman sebagai partner kerja atau teman berdiskusi.Anak tokoh politik almarhum DR TD Pardede, yang pernah masuk dalam Kabinet 100 Menteri Pemerintahan Soekarno ini, dikenal sangat nasionalis. Ia tidak pernah memandang status atau tampilan lahiriah seseorang. Apalagi sampai membeda-bedakan agama, suku atau lainnya. Malah, ia selalu menilai seseorang itu dari kemampuan dan kemudian etika dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Tidak tanggung-tanggung, kalau kedua hal itu sudah ada pada diri seseorang, ditambah lagi loyalitas tinggi, ia akan memberikan perhatian dan kesempatan untuk berkarier. “Itu merupakan modal utama,” kata Rudolf yang mengaku sangat membenci pengkhianat dan orang yang tidak bertanggung-jawab pada pekerjaannya. Bahkan, dalam menyikapi persoalan sepelik apapun termasuk dalam mengambil keputusan, ia tidak akan pernah terburu-buru atau panik. “Saya akan selalu mencari solusi terbaik,”
Sikap ini ia pelajari dari ibunya. Menurutnya, ibunya yang paling dominan membentuk wataknya. Namun di beberapa kasus dalam hal keseharian, seperti bersosialisasi dengan masyarakat, bapaknya yang banyak berperan, terutama dalam hal melihat perbedaan. Diakuinya, perbedaan agama dan suku tidak pernah menghalanginya untuk bersilaturrahmi dengan siapa pun. Malah ia bersyukur bisa berbuat kepada masyarakat bukan karena agama atau sukunya. “Sebab di mata Tuhan, siapa paling banyak menebarkan kasih, ia akan mendapatkan surga,” ungkapnya. Dikatakan Rudolf M Pardede, ketika dirinya terpilih menjadi wakil Gubernur, dirinya bukan manusia yang ambisius tapi berambisi. Apa yang saya dapat sekarang ini, bukanlah karena kemauan, perbuatan atau pekerjaan saya. Jabatan ini saya dapat dengan cuma-cuma. Saya sendiri merasa heran dan tidak mengerti bagaimana saya bisa menjadi Wakil Gubernur dan Gubernur. Saya menyadari bahwa banyak orang yang sudah mengenal siapa dan bagaimana kemampuan saya sebenarnya. Namun, saya mensyukuri apa yang telah saya capai saat ini. Walau sehari menjadi Gubernur, yang penting sudah masuk dalam sejarah pernah menjadi Gubernur.
” Jadi saya tidak ambisius. Tuhan juga mengatakan, kalau ada kesempatan maka kita harus memanfaatkan kesempatan itu. Tapi, jangan mengambilnya dengan rasa ambisius tapi dengan ambisi. Kemudian, saya melihat adanya kesempatan karena pada waktu itu PDI-P menjadi pemenang di daerah ini, jadi saya berkeinginan untuk dapat berbuat sesuatu untuk masyarakat Sumut. Terutama agar ada perimbangan antara masyarakat Sumut, antar umat beragama dan yang lainnya ”Dalam mencapai puncak jabatan Gubernur Sumatera Utara, terbukti Rudolf, bisa menjalankan roda pemerintahan dan dapat menunjukkan adanya kerukunan umat beragama yang demikian kondusif, terkendali dan adanya rasa toleransi yang tinggi di antara umat beragama maupun suku yang ada di daerah di Sumatera Utara. Dikatakannya, Kalau kita merasa benar, maka kita tak perlu merasa ragu-ragu dan tidak usah takut dalam menghadapi masalah apapun. Ketika saya menjadi Wakil Gubernur, saya tetap menjalin hubungan baik dengan Gubernur T Rizal Nurdin. Saya berprinsip right or wrong you are my governor. Karena sejak dari awal saya sudah memilih beliau sebagai Gubernur. Walau pun tugas saya hanya menggunting pita, saya terima dengan senang hati karena itulah tugas Wakil Gubernur. Kalau pun ketika itu tidak ada orang yang mau mendekat dengan saya, saya bisa menerimanya, karena itu hal yang logis. Jadi, kita harus mengerti dan memahami posisi kita masing-masing. Kalau kita bisa memahami posisi dan fungsi masing-masing, hal itu akan mendorong terciptanya pemerintahan yang baik.Mengenai pandangannya terhadap orang tuanya, Rudolf Pardede berkisah, Saya sangat bangga sekali dengan orangtua saya, karena beliau adalah seorang entrepreneur. Beliau telah banyak berbuat untuk Sumatera Utara, walau mungkin dia bisa melakukannya di tempat lain. Beliau membangun hotel bertaraf internasional dan orang sempat menertawakannya kenapa harus membangun hotel demikian besar. Dia juga yang mendirikan persepakbolaan profesional pertama di Indonesia, pabrik tekstil pertama, rumah sakit dan juga universitas. Keinginan beliau adalah bagaimana meningkatkan SDM Sumatera Utara agar bisa maju ke depan dibanding daerah lainnya. Beliau sangat concern dalam membangun Sumatera Utara. ” Sejak dulu saya memang terobsesi mewujudkan impian beliau melalui kemampuan yang ada pada diri saya. Saya telah wujudkan keinginannya untuk menjadi Gubernur. Lalu saya menerbitkan sebuah suratkabar yakni Harian Perjuangan, serta membangun usaha tambak udang. Sehingga untuk mengenang mereka, saya telah melakukan untuk membangun apa yang saya sebut “tugu yang hidup” dan bukan menginginkan “tugu yang mati” untuk kedua orangtua saya. Artinya, “tugu yang hidup” itu, saya bangun Yayasan TD Pardede, yang mengelola sebuah universitas. Di Jakarta juga saya bangun gedung pertemuan Hermina Hall untuk mengenang ibu saya ”Dalam kehidupannya, Rudolf juga banyak di pengaruhi wejangan dan nasehat orang tuanya, diantaranya adalah, kalau pergi ke mana saja, selalulah meninggalkan yang baik-baik dan wangi. Kalau kita tinggalkan yang wangi-wangi, banyak orang akan menyenangi kita. Jangan pernah meninggalkan yang tidak baik dan tidak wangi. Wejangan inilah yang selalu di ingatnya dan dirinyapun mendapatkan hikmah di mana temannya demikian banyak yang mengasihi dan menolongnya. Jangan pernah mengukur pertemanan dengan uang. Dia tidak pernah merasa ragu untuk membuat orang merasa senang. Dirinya tidak pernah merasa ragu untuk membuat orang lain agar bisa tertawa. Orangtuanya Dr TD Pardede, tidak pernah mendekatkan diri dengan pejabat yang dia lihat sudah senang hidupnya. Orangtuanya justru lebih mendekatkan diri dengan pejabat-pejabat yang kelihatan susah hidupnya. Itu falsafah orangtuanya yang dia lihat. Orangtuanya sangat menghargai pejabat-pejabat yang sudah tidak menduduki posisi tertinggi lagi. Di katakan Rudolf, ketika seseorang itu diberikan kepercayaan untuk menduduki sebuah jabatan, jangan berpikiran bahwa orang itu tidak mampu untuk melaksanakannya. Contohnya seperti dirinya menduduki jabatan Wakil Gubernur dan kemudian menjadi Gubernur, banyak orang yang berpikir bahwa dia tidak memiliki kemampuan untuk jabatan itu.”Saya merasa bahwa setiap orang yang menduduki jabatan apapun, awalnya tidak pernah menduduki jabatan itu. Jadi, ketika saya menduduki jabatan ini, saya berdoa kepada Tuhan agar diberikan kemampuan untuk dapat menjadi pemimpin yang arif dan bijaksana. Saya juga selalu meminta agar tidak dipermalukan. Saya yakin doa-doa inilah yang memberikan kekuatan bagi saya dalam menjalankan roda pemerintahan ”Menurut Rudolf, dalam ketidakmampuannya, Tuhan membuka jalan baginya untuk menyelesaikan setiap masalah. Dia yakin bahwa semua ini adalah kerja Tuhan, bukan kerjanya. Sebagai manusia biasa, dirinya tidak bisa berbuat apapun tanpa mengandalkan Tuhan. Dirinya tidak pernah merasa takut menghadapi apapun, karena Tuhan sudah menentukan garis tangannya.
Mungkin garis tangan juga yang menyebabkan Rudolf M Pardede, tidak dapat lagi mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Sumatera Utara dalam Pilkada 2008 yang akan datang. Mungkin Tuhan sudah punya rencana lain buat seorang Rudolf M Pardede, membesarkan usaha TD Pardede Group atau menikmati masa pensiun dengan berkumpul dengan anak, menantu dan cucu, karena Rudolf M Pardede juga sudah menjadi seorang oppung.
Catatan Tentang Penulis ;
Penulis adalah Pengamat masalah hukum dan politik, Saat ini adalah konsultan dan praktisi hukum/Notaris & PPAT tinggal di Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar